Berita Terbaru

Perjalanan Regulasi Praktek Kefarmasian di Indonesia

Perjalanan regulasi praktik kefarmasian dalam tulisan ini kita mulai dari tahun 196o-an. Pada tahun ini, ada 3 regulasi setingkat Undang-Undang yang terkait dengan praktik kefarmasian yaitu Undang-Undang Nomor 9 tahun1960 tentang Pokok-Pokok Kesehatan, Undang-Undang Nomor 6 tahun1963 tentang Tenaga Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.

UU No.6/1963 disusun bersadarkan amanah dari pasal 10 UU No. 9/1960. Tenaga kesehatan dalam UU No.6/1963 dikelompokkan menjadi Tenaga Kesehatan Sarjana dan Tenaga Kesehatan Sarjana Muda, Menengah dan Rendah. Bersama dengan dokter, dokter gigi dan sarjana sarjan lain dalam bidang kesehatan, apoteker dikelompokkan dalam kelompok Tenaga Kesehatan Sarjana. Sedangkan asisten-apoteker dan sebagainya dikelompokkan dalam kelompok Tenaga Kesehatan Sarjana Muda, Menengah dan Rendah  bidang dibidang farmasi. Pada pasal 8 ayat 1 UU 6/1963 disebutkan bahwa Tenaga kesehatan sarjana-muda, menengah dan rendah melakukan pekerjaannya dibawah pengawasan dokter/dokter-gigi/ apoteker/sarjana lain, sehingga jika seorang Tenaga Kesehatan bukan Sarjana melakukan pekerjaan dibawah pengawasan atasan-atasan yang bersangkutan, maka pertanggungan-jawab medis dari pada pekerjaannya terletak pada atasan-atasan tersebut.

UU No.7/1963 disusun bersadarkan amanah dari Pasal 4 (c), (.f) dan (g), pasal 11 dan 14 UU No. 9/1960 dan UU No. 6/1963. Dalam pasal 2 huruf e UU No.7/1963 menggunakan istilah pekerjaan kefarmasian dengan definisi sebagai pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, penyimpanan dan penyerahan obat atau bahan obat. Yang menarik dari UU 7/1993 ini adalah informasi bahwa organisasi profesi tenaga kefarmasian adalah Ikatan Apoteker Indonesia dan Persatuan Ahli Farmasi Indonesia (P.A.P.H.I.). Namun, Berdasarkan Surat Keputusan Mentri Kesehatan Nomor 41846/KAB/121 tanggal 16 September 1965 yang ditandatangani oleh Mayjen. Satrio yang saat itu menjabat sebagai menteri kesehatan, IKATAN SARDJANA FARMASI INDONESIA yang disingkat ISFI menjadi organisasi tunggal/satu-satunya organisasi sarjana farmasi/apoteker Indonesia yang menghimpun seluruh tenaga kesehatan sarjana dibidang farmasi yakni sarjana farmasi/apoteker. UU No. 7/1963 ini pada tahun 1965 menurunkan regulasi teknis dalam bentuk Peraturan Pemerintah yang terkait erat dengan praktik kefarmasian yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 026 Tahun 1965 tentang APOTEK.

PP No. 026/1965 disusun berdasarkan Pasal 4 dan pasal 10 UU No. 7/1963 dan pasal 11 ayat 2 UU No. 9/1960. Beberapa point penting dalam PP No. 026/1965 adalah sebagai berikut:

  • Yang dimaksud dengan APOTIK dalam Peraturan Pemerintah ini ialah: suatu tempat tertentu, di mana dilakukan usaha-usaha dalam bidang farmasi dan pekerjaan kefarmasian, sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 2 huruf c dan pasal 3 huruf b Undang-undang Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi (Lembaran-Negara tahun 1963 Nomor 81 ). Dari point yang termuat dalam pasal 1 PP No. 26/1965 ini, APOTEK saat itu dianggap sebagai fasilitas usaha perdagangan di bidang farmasi.
  • Tugas dan fungsi apotik, ialah:
  1. Pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk pencampuran dan penyerahan obat atau bahan obat.
  2. Penyaluran perbekalan kesehatan di bidang farmasi yang meliputi: obat, bahan obat, obat aseli Indonesia, kosmetik, alat-alat kesehatan, dan sebagainya.
  • Apotik dapat diusahakan oleh:
  1. Lembaga-lembaga Pemerintah tertentu, di pusat maupun di daerah;
  2. Perusahaan Negara, Perusahaan Swasta, Koperasi, dan sebagainya.

Dari point yang termuat dalam pasal 3 PP No. 26/1965 ini jelas bahwa saat itu seorang apoteker belum diperkenankan memiliki APOTEK sendiri. hal ini sejalan dengan point dalam pasal 1 PP No.26/1965.

  • Pertanggungan jawab teknis farmasi, sesuai dengan Undangundang Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi (lembaran-Negara tahun 1963 Nomor81), daripada sebuah APOTIK terletak pada seorang apoteker. Pertanggungan jawab seorang apoteker, tidak mengurangi pertanggungan jawab seorang dokter menurut peraturan-peraturan perundangan.

Pada tahun 1980, PP No. 26/1965 dirubah oleh Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1980 tentang perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 026 Tahun 1965 tentang APOTEK. PP No.25/1980 ini seringkali disalahpahami oleh sebagian besar apoteker bahwa Apotek hanya boleh dimiliki Apoteker dan memfasilitasi adanya Pemilik Sarana Apotek (PSA). Setelah membaca teks             PP No. 25/1980, menurut saya PP No.25/1980 justru regulasi pertama yang memberikan hak kepada apoteker yang telah mengucapkan sumpah dan telah memperoleh izin kerja dari Menteri Kesehatan untuk dapat mengusahakan atau memiliki APOTEK, dimana sebelumnya di PP No. 026/1965 apoteker belum diberi hak untuk memiliki APOTEK (pasal 3). Selain hal ini, ada berapa hal lain yang mengalami perubahan, yaitu :

  • Definisi APOTEK

Definisi APOTEK di PP No.25/1980 ini adalah suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran obat kepada masyarakat.

PP No. 25/1980 ini merubah konsep APOTEK yang sebelumnya hanya sebagai fasilitas usaha perdagangan dibidang farmasi menjadi fasilitas tempat dilakukannya pekerjaan kefarmasian dan penyaluran obat kepada masyarakat. Hal ini kemungkinan merupakan tindak lanjut dari pidato Presiden Soeharto saat membuka kongres ISFI ke-11 di Istana Negara, Beliau mengatakan “…Ketika apotek masih dikelola oleh Badan Usaha, terbukti fungsi obat hanya sebagai barang dagangan semata, bahkan sering digunakan untuk mengambil keuntungan yang tidak bertanggungjawab…”

  • Tugas dan fungsi APOTIK

Tugas dan fungsi APOTEK menurut PP No.25/1980 adalah sebagai berikut:

  1. Tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan;
  2. Sarana farmasi yang melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran dan penyerahan obat atau bahan obat;
  3. Sarana penyalur perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat yang diperlukan masyarakat secara meluas dan merata.

Khusus perubahan APOTEK sebagai tempat pengabdian profesi apoteker, Presiden Soeharto berpesan “…Sekarang adalah tugas saudara untuk menjaga agar kepercayaan pemerintah dan masyarakat benar-benar dijaga dan tidak tercemar…”.

Pengelolaan apotik menjadi tugas dan tanggungjawab seorang apoteker dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1963 tentang Farmasi. Tugas dan tanggung jawab seorang apoteker dilaksanakan tanpa mengurangi tugas dan tanggung jawab seorang dokter berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.

UU No. 9/1960 tentang Pokok-Pokok Kesehatan, UU No. 6/1963 tentang Tenaga Kesehatan dan UU No. 7/1963 tentang Farmasi, pada tahun 1992 dilebur kedalam Undang-Undang Nomor 23 tahun1992 tentang Kesehatan. Beberapa hal penting yang terkait dengan apoteker dan praktek kefarmasian yang termaktub dalam UU No.23 tahun 1992 adalah sebagai berikut:

  • Walau masih menggunakan istilah yang sama yaitu Pekerjaan kefarmasian, definisi pekerjaan kefarmasian di UU No.23/1992 mengalami perluasan cakupan yaitu Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep doktcr, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat, dan obat tradisional.
  • Dalam pasal 61 ayat 1 disebutkan bahwa Pekerjaan kefarmasiaan dalam pengadaan, produksi, distribusi, dan pelayanan sediaan farmasi harus dilakukan olch tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
  • UU No.23/1992 ternyata dalam pasal 82 ayat 1 huruf e memberikan sangsi yang tegas bagi siapa saja yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan sengaja melakukan pekerjaan kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1), yaitu dengan sangsi pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (scratus juta rupiah).

Paling tidak dari rahim UU No. 23/1992 lahirlah 2 (dua) Peraturan pemerintah yang erat kaitannya dengan apoteker dan praktik kefarmasian, yaitu Peraturan pemerintah Nomor 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan dan Peraturan pemerintah Nomor 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.

PP No. 32/1996 sebenarnya seperti reinkarnasi dari UU No.6/1963 tentang tenaga kesehatan karena mengatur objek yang sama yaitu tenaga kesehatan. Dalam PP No. 32/1996, Tenaga Kesehatan di kelompokkan menjadi 7 (tujuh) kelompok, yaitu:

  • tenaga medis;
  • tenaga keperawatan;
  • tenaga kefarmasian;
  • tenaga kesehatan masyarakat;
  • tenaga gizi;
  • tenaga keterapian fisik;
  • tenaga keteknisian medis.

Tenaga kefarmasian dimaksud pada kelompok tenaga kesehatan no.4 diatas meliputi apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker. Namun, PP No.32/1996 ini tidak memberikan definisi atau menjelaskan lebih lanjut pada setiap jenis tenaga kefarmasian dimaksud (apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker)

PP No. 51/2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian ini sejak kelahirannya menimbulkan berbagai kontroversi, diantaranya adalah:

  • PP No. 51/2009 ini diundangkan 43 hari sebelum UU No.23/1992 yang menjadi dasar pembentukannya dinyatakan TIDAK BERLAKU karena diundangkannya UU No. 36/2009 tentang Kesehatan.
  • PP No.51/2009 mengelompokkan tenaga kefarmasian dan memberikan definisi atau menjelaskan lebih lanjut pada setiap jenis tenaga kefarmasian yang tidak mengacu pada PP No.32/1996 padahal dasar hukum pembentukannya sama yaitu UU No.23/1992 tentang Kesehatan. Lantas, PP No.51/2009 tentang pekerjaan kefarmasian ini mengacu atau berdasarkan peraturan perundangan yang mana ya ?

Berikut adalah beberapa hal baru yang diada-adakan dalam PP No.51/2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, yang tidak sejalan dengan PP No.32/1996 tentang Tenaga Kesehatan yang memiliki dasar pembentukan yang sama, yaitu:

  1. PP No.51/2009 pasal 33 ayat 1 mengelompokkan tenaga kefarmasian menjadi apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian, padahal jelas dalam PP No. 32/1996 pasal 2 ayat 4 menyebutkan bahwa Tenaga kefarmasian meliputi apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker.
  2. PP No. 51/2009 pasal 33 ayat 2 menyebutkan bahwa Tenaga Teknis kefarmasian sebagaimana dimaksud terdiri dari Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker. Psal ini menambahkan paling tidak 2 jenis tenaga kefarmasian baru yaitu Sarjana Farmasi ( Lulusan S1 farmasi) dan Ahli Madya Farmasi (lulusan D3 farmasi), serta mendefinisikan asisten apoteker sebagai tenaga menegah farmasi (Lulusan SMK Farmasi). Hal ini juga tidak sejalan dengan PP No.32/1996.
  • PP No.51/2009 memuat beberapa hal yang inkonsisten diantara pasal-pasalnya, diantaranya adalah:

Pada pasal 1 ayat 6 disebutkan bahwa Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam menjalani Pekerjaan Kefarmasian, namun dipasal 26 menyatakan bahwa di took obat pelaksanaan pekerjaan/praktik kefarmasian dilakukan oleh Tenaga Teknis Kefarmasian. Hal ini jelas sekali menunjukkan inkonsistensi kosep dalam PP No.51/2009 ini, dimana diawal menyatakan bahwa Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga (kefarmasian) yang membantu Apoteker dalam menjalani Pekerjaan Kefarmasian sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian secara mandiri yang diperkuat dengan pasal 41 ayat 1 huruf c dinyatakan bahwa untuk memperoleh STRTTK (surat tanda registrasi tenaga teknis kefarmasian) salah satu persyaratannya adalah memiliki rekomendasi tentang kemampuan dari Apoteker yang telah memiliki STRA di tempat Tenaga Teknis Kefarmasian bekerja, namun di pasal yang lain (Pasal 26) ini justru memberikan kewenagan kepada tenaga teknis kefarmasian untuk dapat melakukan pekerjaan kefarmasian secara mandiri.

  • PP No.51/2009 mengembalikan penggunaan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) sebagai organisasi profesi apoteker yang sebelumnya disebut Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI). Hal ini dapata dilihat dari:
  1. Pada pasal 1 ayat 6, Sarjana Farmasi dikelompokkan dalam Tenaga Teknis Kefarmasian
  2. Pada pasal 1 ayat 19, disebutkan bahwa yang dimaksud Organisasi Profesi dalam PP No.51/2009 adalah organisasi tempat berhimpun para Apoteker di Indonesia.

Namun, dengan segala kontroversinya, PP No.51/2009 tentang pekerjaan kefarmasian tetap ‘dipaksakan” terus berlaku, seolah-olah merupakan amanah dari pasal 108 ayat 2 UU No.36/2009 tentang Kesehatan, padahal UU No.23/2009 dinyatakan tidak berlaku pada saat diundangkannya Undang-Undang Nomor 36 tahun2009 tentang Kesehatan tanggal 13 Oktober 2009.

Berikut adalah beberapa perubahan yang termuat dalam UU No.36/2009. Yaitu:

  • UU No.36/2009 merubah penyebutan pekerjaan kefarmasian menjadi praktek kefarmasian seperti terlihat pada pasal 108. Namun, secara muatan substnasinya tidak mengalami perubahan dari cakupan yang termuat di UU No.23/1992. Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  • UU No.36/2009 pada pasal 102 menegaskan bahwa penggunaan sediaan farmasi yang berupa narkotika dan psikotropika hanya dapat dilakukan berdasarkan resep dokter atau dokter gigi dan dilarang untuk disalahgunakan.
  • UU No.36/2009 menghapus sangsi pidana kurungan penjara yang sebelumnya termuat di UU No.23/1992 untuk memberikan sangsi yang tegas bagi siapa saja yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan sengaja melakukan pekerjaan kefarmasian. Hal ini adalah kemunduran dari praktek kefarmasian di Indonesia.

Beberapa bulan setelah diundangkan, tepatnya diawal tahun 2010 (bulan febuari 2010) mahkamah Konstitusi diminta untuk melakukan pengujian terhadap Pasal 108 ayat (1) beserta Penjelasannya juncto Pasal 190 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan oleh Misran, S.Km dkk seorang PNS, Perawat, Kepala Puskesmas Pembantu Kuala Samboja. Berkenaan dengan hal ini kemudian telah diputuskan oleh mahkamah konstitusi dengan putusan NOMOR 12/PUU-VIII/2010.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 12/PUU-VIII/2010, definisi Praktik kefarmasiaan meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kefarmasian dan dalam hal tidak ada tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan tertentu dapat melakukan praktik kefarmasian secara terbatas, antara lain, dokter dan/atau dokter gigi, bidan, dan perawat yang melakukan tugasnya dalam keadaan darurat yang mengancam keselamatan jiwa dan diperlukan tindakan medis segera untuk menyelamatkan pasien.

Dari rahim UU No.36/2009, lahirlah Peraturan pemerintah yang erat kaitannya dengan apoteker dan praktik kefarmasian yaitu Peraturan pemerintah Nomor  47 tahun 2016 tentang Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

Berdasarkan PP No.47/2016, Fasilitas kesehatan didefinisikan sebagai suatu alat dan/ atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan/ atau masyarakat. Adapun Jenis Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud terdiri atas:

  • tempat praktik mandiri Tenaga Kesehatan;
  • pusat kesehatan masyarakat;
  • klinik;
  • rumah sakit;
  • apotek;
  • unit transfusi darah;
  • Iaboratorium kesehatan;
  • optikal fasilitas pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum; dan
  • Fasilitas Pelayanan Kesehatan tradisional.

Dari jenis Fasilitas Pelayanan Kesehatan diatas (pasal 4 ayat 1 PP No.47/2016), terlihat bahwa TOKO OBAT yang dikelompokan sebagai fasilitas pelayanan kefarmasian di PP No.51/2009 pasal 19 huruf e TIDAK lagi dapat disebut sebagai Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Hal ini, tentunya memiliki konsekwensi hukum yang mengikutinya yaitu tiadak lagi boleh mengklaim bahwa di toko obat dilakukan pelayanan kesehatan dalam hal ini oleh pelayanan kefarmasian oleh tenaga kesehatan (Tenaga Teknis Kefarmasian). Namun, entah mengapa PP No.47/2016 ini seolah-olah tidak pernah diundangkan karena tidak pernah dijadikan konsideran saat menyusun regulasi terkait dengan praktik kefarmasian dan fasilitas pelayanan kefarmasian oleh Kementrian Kesehatan (Dirjen Pelayanan Kefarmasian) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Pada tahun 2014, berdasarkan pada UU No.36/2009 tentang Kesehtan, tepatnya tanggal 17 Oktober 2014 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 36 tahun2014 tentang Tenaga Kesehatan. Sekilas UU No.36/2014 ini adalah up-greatan dari PP No.32/1996 tentang Tenaga Kesehatan. Namun, khusus untuk tenaga kefarmasian sepertinya UU No. 36/2014 ini nampaknya merupakan regulasi untuk “mengesahkan” pengelompokan tenaga kefarmasian dari PP No.51/2009 yang sebelumnya kita ketahui bahwa konsepnya tidak mengacu pada UU No.23/1992 tentang Kesehatan Jo PP 32/1996 tentang Tenaga Kesehatan. Selain itu, UU No.36/2009 dalam penjelasan pasal 11 ayat 6 yang menghilangkan kalimat tenaga yang membantu Apoteker dalam menjalani Pekerjaan Kefarmasiansaat menjelaskan yang dimaksud Tenaga Teknis Kefarmasian. Hal ini menyebabkan pada sebagian  tenaga kefarmasian menganggap apoteker dan asistenya (yang sekarang disebut Tenaga Teknis Kefarmasian) seolah-olah masing-masing berdiri sendiri-sendiri sebagai profesi tenaga kefarmasian.

Demikianlah sedikit tulisan saya tentang sejarah perjalan regulasi praktik kefarmasian di Indonesia, semoga bisa memberikan manfaat kepada kita agar lebih memahami sejarah praktik kefarmasian dalam frame regulasi. Kurang lebihnya saya mohon maaf jika ada kekurangan dalam tulisan ini.

(Pangkalpinang, 31 Oktober 2021)

Kiriman tulisan oleh Apt. Sudarsono, Msc.

Facebooktwitterredditpinterestlinkedinmailby feather

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *