Konsep Praktek Mandiri Apoteker dalam Sistem Kesehatan Indonesia
Apoteker, jika merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Farmasi yang disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi dapat didefinisikan sebagai seseorang yang telah menyelesaikan pendidikan profesi apoteker, lulus Uji Kompetensi apoteker Indonesia (UKAI) dengan memperoleh Sertifikat profesi yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi, telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker serta memiliki surat tanda registrasi apoteker (STRA) dengan kewenangan melaksanakan praktik kefarmasian pada fasilitas kefarmasian. Untuk dapat melaksanakan praktik kefarmasian di Indonesia, seorang apoteker harus memiliki Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA) yang merupakan bukti tertulis yang diberikan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota kepada apoteker sebagai pemberian kewenangan untuk menjalankan praktik kefarmasian.
Kata praktik/prak·tik/ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (https://kbbi.web.id/) memiliki arti pelaksanaan secara nyata apa yang disebut dalam teori; pelaksanaan pekerjaan (tentang dokter, pengacara, dan sebagainya) dan perbuatan menerapkan teori (keyakinan dan sebagainya). Sedangkan kata mandiri/man·di·ri/ memiliki arti dalam keadaan dapat berdiri sendiri; tidak bergantung pada orang lain. Secara sederhana, praktik mandiri apoteker dapat didefinisikan sebagai seseorang yang telah menyelesaikan pendidikan profesi apoteker, lulus Uji Kompetensi apoteker Indonesia (UKAI) dengan memperoleh Sertifikat profesi yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi, telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker serta memiliki surat tanda registrasi apoteker (STRA) yang melaksanakan praktik kefarmasian secara profesional dan independen serta tidak terafiliasi kepada fasilitas kefarmasian.
Praktik kefarmasian sebagai kewenangan yang melekat pada profesi apoteker sebagai satu-satunya tenaga professional kefarmasian, pada awalnya tertuang dalam pasal 108 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, namun karena adanya gugatan ke Mahkamah Konstitusi untuk permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 12/PUU-VIII/2010, definisi Praktik kefarmasiaan meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kefarmasian dan dalam hal tidak ada tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan tertentu dapat melakukan praktik kefarmasian secara terbatas, antaralain, dokter dan/atau dokter gigi, bidan, dan perawat yang melakukan tugasnya dalam keadaan darurat yang mengancam keselamatan jiwa dan diperlukan tindakan medis segera untuk menyelamatkan pasien. Dari definisi ini, maka sesungguhnya kewenangan apoteker dalam menjalankan praktek profesinya secara garis besar, yang terdiri atas:
1) Pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi 2) Pengamanan sediaan farmasi, 3) Pengadaan sediaan farmasi, 4) Penyimpanan obat 5) pendistribusian obat, 6) Pelayanan obat atas resep dokter, 7) Pelayanan informasi obat 8) Pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.
Praktik Kefarmasian yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 108 seperti diutarakan diatas, secara garis besar mencakup dalam 4 (empat) kelompok area wilayah praktik kefarmasian oleh apoteker, yaitu:
1. Praktik produksi sediaan farmasi Praktik produksi sediaan farmasi meliputi praktik pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi.
2. Praktik pengelolaan sediaan farmasi Praktik pengelolaan perbekalan farmasi meliputi praktik pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian sediaan farmasi
3. Praktik pelayanan kefarmasian Praktik pelayanan kefarmasian merupakan suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien, meliputi praktik pelayanan obat berdasarkan resep dan pelayanan informasi obat.
4. Praktik penelitian dan pengembangan sediaan farmasi Praktik penelitian dan pengembangan sediaan farmasi meliputi praktik penelitian pengembangan sediaan farmasi
Fasilitas Kefarmasian berdasarkan PP Nomor 51 tahun 2009 didefinisikan sebagai fasilitas atau tempat apoteker melaksanakan praktik kefarmasian yang terdiri dari Fasilitas Produksi Sediaan Farmasi, Fasilitas Pendistribusi Perbekalan Farmasi dan Fasilitas Pelayanan Kefarmasian.
Fasilitas Pelayanan Kesehatan pada pasal 1 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2016 tentang Fasilitas Pelayanan Kesehatan, didefinisikan sebagai suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. Adapun Fasilitas Kefarmasian yang masuk dalam Jenis Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah ruang farmasi di pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas), ruang farmasi di klinik, instalsi farmasi rumah sakit dan apotek yang dalam PP Nomor 51 tahun 2009 masuk dalam kelompok fasilitas pelayanan kefarmasian yang didefinisikan sebagai sarana yang digunakan untuk menyelenggarakan suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.
Menilik definisi sederhana dari praktik mandiri apoteker seperti diuraikan diatas, tulisan ini mencoba mendiskripsikan bagaimanakah konsep praktik mandiri apoteker dalam system pelayanan kesehatan di Indonesia ?
A. Sistem Pelayanan Kesehatan
Sesuai pasal 30 UU Nomor 36 Tahun 2009 dan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional (SKN), Indonesia menganut sistem pelayanan kesehatan berjenjang yang terbagi menjadi 3 jenjang, yaitu pelayanan tingkat pertama atau primer, tingkat kedua atau sekunder, dan tingkat ketiga atau tersier. Di setiap tingkatan layanan tersebut, terbagi menjadi 2 upaya pelayanan kesehatan yaitu upaya kesehatan masyarakat (UKM) dan upaya kesehatan perorangan (UKP). Semua fasilitas layanan tersebut dapat diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, dan swasta.
1. Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama atau Primer
a. Pelayanan Kesehatan Perorangan Tingkat Pertama atau Primer (PKPP)
Pelayanan kesehatan perorangan primer adalah pelayanan kesehatan dimana terjadi kontak pertama secara perorangan sebagai proses awal pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan perorangan primer memberikan penekanan pada pelayanan pengobatan, pemulihan tanpa mengabaikan upaya peningkatan dan pencegahan, termasuk di dalamnya pelayanan kebugaran dan gaya hidup sehat (healthy life style).
Pelayanan kesehatan perorangan primer diselenggarakan oleh tenaga kesehatan yang dibutuhkan dan mempunyai kompetensi seperti yang ditetapkan sesuai ketentuan berlaku serta dapat dilaksanakan di rumah, tempat kerja, maupun fasilitas pelayanan kesehatan perorangan primer baik Puskesmas dan jejaringnya, serta fasilitas pelayanan kesehatan lainnya milik pemerintah, masyarakat, maupun swasta. Dilaksanakan dengan dukungan pelayanan kesehatan perorangan sekunder dalam sistem rujukan yang timbal balik. Pelayanan kesehatan perorangan primer diselenggarakan berdasarkan kebijakan pelayanan kesehatan yang ditetapkan oleh Pemerintah dengan memperhatikan masukan dari Pemerintah Daerah, organisasi profesi, dan/atau masyarakat.
Pelayanan kesehatan perorangan primer dapat diselenggarakan sebagai pelayanan yang bergerak (ambulatory) atau menetap, dapat dikaitkan dengan tempat kerja, seperti klinik perusahaan; atau dapat disesuaikan dengan lingkungan/kondisi tertentu (kesehatan matra, seperti: kesehatan haji, kesehatan pada penanggulangan bencana, kesehatan transmigrasi, kesehatan di bumi perkemahan, kesehatan dalam penanggulangan gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat, kesehatan dalam operasi dan latihan militer di darat, kesehatan kelautan dan bawah air, kesehatan kedirgantaraan/ penerbangan, dan kesehatan dalam situasi khusus dan/atau serba berubah).
Pemerintah wajib menyediakan pelayanan kesehatan perorangan primer di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sesuai kebutuhan, terutama bagi masyarakat miskin, daerah terpencil, perbatasan, pulau-pulau terluar dan terdepan, serta yang tidak diminati swasta. Pembiayaan pelayanan kesehatan perorangan primer untuk penduduk miskin dibiayai oleh Pemerintah, sedangkan golongan ekonomi lainnya dibiayai dalam sistem pembiayaan yang diatur oleh Pemerintah. Dalam pelayanan kesehatan perorangan termasuk pula pelayanan kesehatan berbasis masyarakat dalam bentuk seperti Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) dan pengobatan tradisional, alternatif dan komplementer yang secara ilmiah telah terbukti terjamin keamanan dan khasiatnya.
b. Pelayanan Kesehatan Masyarakat Tingkat Pertama atau Primer (PKMP)
Pelayanan kesehatan masyarakat primer adalah pelayanan peningkatan dan pencegahan tanpa mengabaikan pengobatan dan pemulihan dengan sasaran keluarga, kelompok, dan masyarakat.
Penyelenggaraan pelayanan kesehatan masyarakat primer menjadi tanggung jawab Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang pelaksanaan operasionalnya dapat didelegasikan kepada Puskesmas, dan/atau fasilitas pelayanan kesehatan primer lainnya yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah dan/atau masyarakat.
Masyarakat termasuk swasta dapat menyelenggarakan pelayanan kesehatan masyarakat primer sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku dan bekerja sama dengan Pemerintah/ Pemerintah Daerah. Pembiayaan pelayanan kesehatan masyarakat primer ditanggung oleh Pemerintah/Pemerintah Daerah bersama masyarakat, termasuk swasta. Pemerintah/Pemerintah Daerah wajib melaksanakan dan membiayai pelayanan kesehatan masyarakat primer yang berhubungan dengan prioritas pembangunan kesehatan melalui kegiatan perbaikan lingkungan, peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit dan kematian serta paliatif.
Pelaksanaan pelayanan kesehatan masyarakat primer didukung kegiatan lainnya, seperti surveilans, pencatatan, dan pelaporan yang diselenggarakan oleh institusi kesehatan yang berwenang. Pemerintah/Pemerintah Daerah dapat membentuk fasilitas pelayanan kesehatan yang secara khusus ditugaskan untuk melaksanakan upaya kesehatan masyarakat sesuai keperluan. Pembentukan fasilitas pelayanan kesehatan tersebut dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan masyarakat primer mendukung upaya kesehatan berbasis masyarakat dan didukung oleh pelayanan kesehatan masyarakat sekunder.
2. Pelayanan Kesehatan Tingkat Kedua atau Sekunder
a. Pelayanan Kesehatan Perorangan Tingkat Kedua atau Sekunder (PKPS)
Pelayanan kesehatan perorangan sekunder adalah pelayanan kesehatan spesialistik yang menerima rujukan dari pelayanan kesehatan perorangan primer, yang meliputi rujukan kasus, spesimen, dan ilmu pengetahuan serta dapat merujuk kembali ke fasilitas pelayanan kesehatan yang merujuk. Pelayanan kesehatan perorangan sekunder dilaksanakan oleh dokter spesialis atau dokter yang sudah mendapatkan pendidikan khusus dan mempunyai izin praktik serta didukung tenaga kesehatan lainnya yang diperlukan.
Pelayanan kesehatan perorangan sekunder dilaksanakan di tempat kerja maupun fasilitas pelayanan kesehatan perorangan sekunder baik rumah sakit setara kelas C serta fasilitas pelayanan kesehatan lainnya milik Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat, maupun swasta. Pelayanan kesehatan perorangan sekunder harus memberikan pelayanan kesehatan yang aman, sesuai, efektif, efisien dan berbasis bukti (evidence based medicine) serta didukung pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan.
Pelayanan kesehatan perorangan sekunder yang bersifat tradisional, alternatif dan komplementer dilaksanakan berafiliasi dengan atau di rumah sakit pendidikan. Pelayanan kesehatan perorangan sekunder dapat dijadikan sebagai wahana pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan pendidikan dan pelatihan.
b. Pelayanan Kesehatan Masyarakat Tingkat Kedua atau Sekunder (PKMS)
Pelayanan kesehatan masyarakat sekunder menerima rujukan kesehatan dari pelayanan kesehatan masyarakat primer dan memberikan fasilitasi dalam bentuk sarana, teknologi, dan sumber daya manusia kesehatan serta didukung oleh pelayanan kesehatan masyarakat tersier. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan masyarakat sekunder menjadi tanggung jawab Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan/atau Provinsi sebagai fungsi teknisnya, yakni melaksanakan pelayanan kesehatan masyarakat yang tidak sanggup atau tidak memadai dilakukan pada pelayanan kesehatan masyarakat primer.
Dalam penanggulangan penyakit menular yang tidak terbatas pada suatu batas wilayah administrasi pemerintahan (lintas kabupaten/ kota), maka tingkat yang lebih tinggi (provinsi) yang harus menanganinya. Fasilitas pelayanan kesehatan penyelenggara pelayanan kesehatan masyarakat sekunder dibangun sesuai dengan standar. Bagi fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat milik swasta harus mempunyai izin sesuai peraturan yang berlaku serta dapat bekerja sama dengan unit kerja Pemerintah dan Pemerintah Daerah, seperti laboratorium kesehatan, Balai Teknik Kesehatan Lingkungan (BTKL), Balai Pengamanan Fasilitas Kesehatan (BPFK), dan lain-lain.
3. Pelayanan Kesehatan Tingkat Ketiga atau Tersier
a. Pelayanan Kesehatan Perorangan Tingkat Ketiga atau Tersier (PKPT)
Pelayanan kesehatan perorangan tersier menerima rujukan subspesialistik dari pelayanan kesehatan di bawahnya, dan dapat merujuk kembali ke fasilitas pelayanan kesehatan yang merujuk. Pelaksana pelayanan kesehatan perorangan tersier adalah dokter subspesialis atau dokter spesialis yang telah mendapatkan pendidikan khusus atau pelatihan dan mempunyai izin praktik dan didukung oleh tenaga kesehatan lainnya yang diperlukan.
Pelayanan kesehatan perorangan tersier dilaksanakan di rumah sakit umum, rumah sakit khusus setara kelas A dan B, baik milik Pemerintah, Pemerintah Daerah maupun swasta yang mampu memberikan pelayanan kesehatan subspesialistik dan juga termasuk klinik khusus, seperti pusat radioterapi. Pemerintah mengembangkan berbagai pusat pelayanan unggulan nasional yang berstandar internasional untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan dan menghadapi persaingan global dan regional. Fasilitas pelayanan kesehatan perorangan tersier dapat didirikan melalui modal patungan dengan pihak asing sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pelayanan kesehatan perorangan tersier wajib melaksanakan penelitian dan pengembangan dasar maupun terapan dan dapat dijadikan sebagai pusat pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan.
Pelaksanaan pelayanan kesehatan masyarakat tersier menjadi tanggung jawab Dinas Kesehatan Provinsi dan Kementerian Kesehatan yang didukung dengan kerja sama lintas sektor. Institusi pelayanan kesehatan masyarakat tertentu secara nasional dapat dikembangkan untuk menampung kebutuhan pelayanan kesehatan masyarakat.
B. Konsep Praktik Mandiri Apoteker
Praktik mandiri apoteker, secara sederhana dapat didefinisikan sebagai seseorang yang telah menyelesaikan pendidikan profesi apoteker, lulus Uji Kompetensi apoteker Indonesia (UKAI) dengan memperoleh Sertifikat profesi yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi, telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker serta memiliki surat tanda registrasi apoteker (STRA) yang melaksanakan praktik kefarmasian secara profesional dan independen serta tidak terafiliasi kepada fasilitas kefarmasian.
Pada dasarnya Praktik Mandiri Apoteker adalah merupakan praktik mandiri tenaga kesehatan dan berdasarkan PP Nomor 47 tahun 2016 pasal 4 ayat 1 huruf a, tempat praktik mandiri tenaga kesehatan termasuk salah satu jenis fasilitas pelayanan kesehatan. Apakah Praktik Mandiri Apoteker layak mejadi salah satu jenis fasilitas pelayanan kesehatan dan bagaimanakah konsep Praktik Mandiri Apoteker dimaksud ? Di Indonesia, menurut regulasi yang ada saat ini praktik pelayanan kefarmasian oleh apoteker dilakukan di fasilitas kefarmasian berdasarkan suatu standar pelayanan kefarmasian. Standar pelayanan kefarmasian dimaksud telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 72, 73, dan 74 tahun 2016 tentang standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit, apotek, dan puskesmas yang secara garis besar meliputi pelayanan farmasi klinik dan pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.
1. Pelayanan farmasi klinik
Dalam satu dekade terakhir, pelayanan kefarmasian (Pharmaceutical Care) adalah jenis praktik kefarmasian yang paling pesat perkembangannya jika dibandingkan dengan praktik produksi dan praktik pendistribusian sediaan farmasi. Hal ini, ditandai dengan munculnya jenis pelayanan farmasi klinik sebagai jenis pelayanan baru dari pelayanan kefarmasian yang sudah ada yaitu pelayanan obat atas resep dokter dan pelayanan informasi obat. Menurut Dr. apt. Widyati M.Clin.Pharm dalam bukunya yang berjudul Praktik Farmasi Klinik yang ditebitkan tahun 2019, pelayanan kefarmasian (Pharmaceutical Care) merupakan model praktek apoteker yang diciptakan karena kebutuhan untuk bisa mengkuantifikasi pelayanan farmasi klinik yang diberikan, sehingga peran apoteker dalam pelayanan kefarmasian kepada pasien dapat terukur. Pelayanan kefarmasian (Pharmaceutical Care) didefinisikan pertama kali oleh Prof. Linda Strand sebagai “Responsible provision of drug therapy for the purpose of achieving definite outcomes that improve a patient’s quality of life”. Dari definisi ini terkandung pengertian:
a. Bahwa apoteker memiliki tanggungjawab kepada pasien secara langsung
b. Bahwa tujuan pengobatan jelas dan dapat dinilai
c. Bahwa outcome yang ingin dicapai tidak hanya kesembuhan tetapi lebih dari itu, yakni meningkatkan kualitas hidup pasien.
Dalam pernyataan yang lain, Prof. Linda Strand menyatakan bahwa pelayanan kefarmasian merupakan “Component of pharmacy practice which entails the direct interaction of pharmacist with the patient for the purpose of caring for the patient’s drug-related needs”. Berdasarkan penjelasan ini, terkandung pula bahwa dalam pelayanan kefarmasian seorang apoteker praktisi farmasi klinik menentukan kebutuhan pasien sesuai dengan kondisi penyakit dan membuat komitmen untuk meneruskan pelayanan setelah dimulai secara berkesinambungan Istilah pelayanan farmasi klinik dalam regulasi pertamakali digunakan pada tahun 2014 dalam Permenkes Nomor 72, 73, dan 74 tahun 2016 tentang standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit, apotek, dan puskesmas. Pada tahun 2021, istilah pelayanan farmasi klinik kembali dinyatakan dalam regulasi dengan hirearki peraturan perundangan yang lebih tinggi yaitu dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Bidang Perumahsakitan. Hanya saja pada PP Nomor 47 tahun 2021, Pelayanan Farmasi Klinik yang tercantum tanpa penjelasan lebih lanjut. Adapun kegiatan pelayanan farmasi klinik yang telah resmi diatur dalam regulasi teknis pelaksana di Indonesia saat ini selain pengakajian dan pelayanan obat atas resep dokter dan pelayanan informasi obat yang telah lebih dulu diatur dalam definisi praktik kefarmasian dalam UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 108, meliputi:
a. Penelusuran riwayat penggunaan Obat, Penelusuran riwayat penggunaan Obat adalah proses untuk mendapatkan informasi mengenai seluruh Obat/Sediaan Farmasi lain yang pernah dan sedang digunakan, riwayat pengobatan dapat diperoleh dari wawancara atau data rekam medik/pencatatan penggunaan Obat pasien.
b. Rekonsiliasi Obat, Rekonsiliasi Obat adalah proses membandingkan instruksi pengobatan dengan Obat yang telah didapat pasien.
c. Konseling, Konseling Obat adalah suatu aktivitas pemberian nasihat atau saran terkait terapi Obat dari Apoteker (konselor) kepada pasien dan/atau keluarganya
d. Visite, Visite adalah kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan Apoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk mengamati kondisi klinis pasien secara langsung, dan mengkaji masalah terkait Obat, memantau terapi Obat dan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki, meningkatkan terapi Obat yang rasional, dan menyajikan informasi Obat kepada dokter, pasien serta profesional kesehatan lainnya.
e. Pemantauan Terapi Obat (PTO), Pemantauan Terapi Obat (PTO) adalah suatu proses yang mencakup kegiatan untuk memastikan terapi Obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien.
f. Monitoring Efek Samping Obat (MESO), Monitoring Efek Samping Obat (MESO) adalah kegiatan pemantauan setiap respon terhadap Obat yang tidak dikehendaki, yang terjadi pada dosis lazim yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa dan terapi
g. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO), Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) adalah program evaluasi penggunaan Obat yang terstruktur dan berkesinambungan secara kualitatif dan kuantitatif.
h. Dispensing sediaan steril i. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD). Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) adalah interpretasi hasil pemeriksaan kadar Obat tertentu atas permintaan dari dokter yang merawat karena indeks terapi yang sempit atau atas usulan dari Apoteker kepada dokter.
j. Pelayanan Kefarmasian di rumah (Home pharmacy care); Pelayanan Kefarmasian di rumah (Home care pharmacy) adalah pelayanan kefarmasian oleh apoteker secara mandiri kepada pasien/klien dengan cara mendatanginya ke rumah.
Untuk dirumah sakit, konsep praktik pelayanan farmasi klinik diruangan saat melakukan visite adalah dengan membersamai dokter mitra praktek seorang apoteker klinis atau pasien dengan perawatan dokter spesialisasi tertentu dalam rangka merawat bersama pasien dari saat datang sampai dengan pulang (sembuh atau meninggal). Adapun kegiatan pelayanan farmasi klinik yang dilakukan seperti pada table.1. Selain kegiatan pelayanan farmasi klinik diatas, di Indonesia juga melakukan Pelayanan Swamedikasi.
Pelayanan Swamedikasi adalah pelayanan farmasi klinik secara mandiri menggunakan sediaan farmasi yang berdasarkan peraturan perundangan dapat diserahkan oleh apoteker tanpa resep untuk penanganan gangguan ringan (Responding to symtoms) dan terdokumentasi dalam catatan pengobatan pasien. Kegiatan pelayanan farmasi klinik dan pelayanan swamedikasi seperti di uraikan diatas, walau sudah diatur dalam regulasi teknis pelaksanaan, namun belum secara resmi masuk dalam definisi praktik kefarmasian di Indonesia. Sehingga belum diakui secara formal sebagai bagian dari kewenangan professional seorang apoteker di Indonesia.
Di era Jaminan Kesehatan Nasional yang menerapkan konsep asuransi social dan paket tariff prospektif untuk pembayaran jasa pelayanan kesehatan kepada FKTP atau FKRTL oleh BPJS Kesehatan, secara langsung merubah cara pandang manajemen fasilitas kesehatan terhadap farmasi (obat dan Bahan Alat Medis Habis Pakai), dimana sebelumnya farmasi dianggap sebagai unit penghasil berubah terbalik menjadi beban usaha yang harus dikontrol dengan ketat penggunaannya. Peran pelayanan farmasi klinik oleh apoteker klinis menjadi sangat penting karena secara teknis pelayanan farmasi klinik bertujuan untuk melakukan efisiensi dan menjaga efektivitas farmakoterapi yang diterima pasien yang pada gilirannya akan berimbas pada penghematan beban opersional FKTP atau FKTRL dari penggunaan obat dan BAMHP.
2. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.
Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sebagaimana dimaksud meliputi: pemilihan; perencanaan kebutuhan; pengadaan; penerimaan; penyimpanan; pendistribusian; pemusnahan dan penarikan; pengendalian; dan administrasi yang disesuaikan dengan kebutuhan fasilitas pelayanan kesehatan tempat praktik seorang apoteker. Terkadang dalam kondisi tertentu, seorang apoteker di fasilitas pelayanan kefarmasian dengan kompetensinya dapat memproduksi sediaan tertentu dalam rangka proses pengadaan obat. Produksi Sediaan Farmasi dapat dilakukan bila :
a. Sediaan Farmasi tidak ada di pasaran; b. Sediaan Farmasi lebih murah jika diproduksi sendiri; c. Sediaan Farmasi dengan formula khusus; d. Sediaan Farmasi dengan kemasan yang lebih kecil/repacking; e. Sediaan Farmasi untuk penelitian; f. Sediaan Farmasi yang tidak stabil dalam penyimpanan/harus dibuat baru (recenter paratus).
Sediaan yang dibuat di fasilitas pelayanan kefarmasian harus memenuhi persyaratan mutu dan terbatas hanya untuk memenuhi kebutuhan pelayanan di fasilitas pelayanan kefarmasian tersebut. Penyerahan obat berasal dari pembuatan sendiri difasilitas pelayanan kefarmasian harus dilengkapi dengan etiket. Berdasarkan keputusan menteri kesehatan nomor 280/MEN.KES.SK/V/1981 tentang Ketentuan Dan Tata Cara Pengelolaan Apotek, etiket dimaksud berwarna putih untuk obat dalam, berwarna biru untuk obat luar, dan harus memuat:
a. Nama dan alamat fasilitas kefarmasian b. Nama apoteker dan Nomor Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA) c. Nama dan jumlah obat d. Aturan pemakaian e. Tulisan “Obat Luar” untuk obat luar f. Tanda lain yang diperlukan, misalnya “Obat Gosok”, “Obat Batuk”, “Kocok Dulu” dan sebagainya.
Hanya saja, kegiatan produksi sediaan farmasi seperti diuraikan diatas hanya dapat dilakukan di rumah sakit, mengingat regulasi terkait kewenangan produksi secara terbatas tersebut tidak ditemukan dalam Permenkes Nomor 73 dan 74 tahun 2016 dan perubahannya tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek dan puskesmas.
Jika melihat lebih dalam terkait jenis kegiatan dari pelayanan farmasi klinik dan Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai, maka tidak seperti pelayanan farmasi klinik yang sebagian besar kegiatan profesionalnya dapat dilakukan oleh apoteker klinis secara mandiri tanpa bantuan apoteker lain dan/atau tenaga teknis kefarmasian dan tidak harus menjadi pegawai/karyawan tetap di fasilitas kesehatan atau dalam artikata pelayanan farmasi klinis dapat dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan dengan skema mitra dan professional fee-nya disesuaikan dengan tindakan professional yang diberikan.
Sedangkan kegiatan Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai justru sangat erat dengan proses adminitrasi fasilitas pelayanan kesehatan sebagai “institusi bisnis” dan harus dilakukan dalam sebuah team kerja. Sehingga posisi apoteker dalam pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai ada yang sebagai “team leader” yang dikenal sebagai apoteker penanggung jawab (APJ) atau apoteker pemegang SIA untuk APOTEK dan juga berposisi sebagai anggota team pengelola yang kita kenal dengan istilah apoteker pendamping yang bersama dengan tenaga teknis kefarmasian membantu apoteker penanggung jawab (APJ) atau apoteker pemegang SIA melakukan Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai di fasilitas pelayanan kesehatan tempat mereka berkerja.
Konsep Praktik Mandiri Apoteker sebagai fasilitas praktik mandiri tenaga kesehatan hanya cocok dengan konsep praktik pelayanan farmasi klinik oleh apoteker klinis yang disesuaikan dengan jenis fasilitas pelayanan kesehatan tempat apoteker melakukan praktek pelayanan kefarmasian. Namun demikian, kedepan perlu lebih intens untuk menyusun konsep praktik mandiri apoteker ini agar dapat diterima masyarakat dan regulator kesehatan di Indonesia sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan, mengingat dalam regulasi terkait farmasi praktik pelayanan kefarmasian masih melekat pada fasilitas kefarmasian dan belum melekat pada profesionalnya.
Tidak menutup kemungkinan, kedepan Konsep Praktik Mandiri Apoteker ini dapat dilakukan seperti halnya praktik mandiri dokter/dokter gigi, praktik mandiri bidan, praktik mandiri perawat, praktik mandiri fisioterapis dan praktik mandiri tenaga kesehatan lainnya yang diizinkan oleh peraturan perundangan yang berlaku.
Kiriman tulisan dari Apt. Sudarsono, MSc.