Irisan Kewenangan Apoteker dan Tenaga Medis Menurut Peraturan Perundangan di Indonesia
Paska Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 82 tahun 2015, kembali memunculkan sedikit polemik sebagai akibat dari beberapa pemberitaan online karena mengutip pertimbangan hakim MK dalam putusan tersebut yang diopinikan bahwa kewenangan profesi kesehatan selain tenaga medis termasuk apoteker merupakan tenaga kesehatan vokasi dan sifat pekerjaannya merupakan pendelegasian kewenangan dari tenaga medis. Pertanyaannya kemudian adalah apakah kewenangan apoteker bersifat sebagai pendelegasian kewenangan dari tenaga medis dan bagaimana sesungguhnya peraturan perundangan di Indonesia mengatur kewenangan dari kedua profesi kesehatan ini ?
Dalam sejarahnya, sejak masa Hipocrates (460-370 SM) yang dikenal sebagai “Bapak Ilmu Kedokteran”, belum dikenal adanya profesi Farmasi. Seorang dokter yang mendignosis penyakit, juga sekaligus merupakan seorang “Apoteker” yang menyiapkan obat. Semakin lama masalah penyediaan obat semakin rumit, baik formula maupun pembuatannya, sehingga dibutuhkan adanya suatu keahlian tersendiri. Pada tahun 1240 M, Raja Jerman Frederick II memerintahkan pemisahan secara resmi antara Farmasi dan Kedokteran dalam dekritnya yang terkenal “Two Silices”. Dari sejarah ini, satu hal yang perlu direnungkan adalah bahwa akar ilmu farmasi dan ilmu kedokteran adalah sama.
Selanjutnya,perkembangan ke ilmuan kedua profesi kesehatan ini berbeda-beda pada tiap negara. Di Indonesia berdasarkan peraturanperundangan terkait dengan Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS), gelar apoteker dan tenaga medis (dokter,dokter gigi) diperoleh seseorang setelah mengikuti jenjang pendidikan profesi. Pendidikan profesi adalah sistem pendidikan tinggi setelah program pendidikan sarjana yang menyiapkan peserta didik untuk menguasai keahlian khusus. Lulusan pendidikan profesi mendapatkan gelar profesi.
Dalam hal kewenangan profesi, baik tenaga medis maupun apoteker sebagai profesi tenaga kefarmasian memiliki dasar hukum tersendiri. Kewenangan dari seorang Tenaga medis didasarkan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran dan peraturan turunannya, sedangkan kewenangan seorang apoteker sebagai profesi tenaga kefarmasian didasarkan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan terutama pasal 108 yang diperkuat dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 12/PUU-VIII/2010 dan peraturan turunannya terutama Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.
Sebagai tenaga kesehatan, dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan, apoteker dikelompokkan kedalam kelompok tenaga kefarmasian. Definisi dari apoteker dapat ditemui dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian pasal 1 ayat 5. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker. Kewenangan apoteker sebagai tenaga kesehatan adalah melaksanakan praktik kefarmasian pada fasilitas kefarmasian seperti jelas tercantum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 12/PUU-VIII/2010.
Definisi praktik kefarmasian pada awalnya tertuang dalam pasal 108 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, namun karena adanya gugatan ke Mahkamah Konstitusi untuk permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 12/PUU-VIII/2010, definisi Praktik kefarmasiaan meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kefarmasian dan dalam hal tidak ada tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan tertentu dapat melakukan praktik kefarmasian SECARA TERBATAS, antara lain, dokter dan/atau dokter gigi, bidan, dan perawat yang melakukan tugasnya dalam keadaan darurat yang mengancam keselamatan jiwa dan diperlukan tindakan medis segera untuk menyelamatkan pasien. Objek yang menjadi kewenangan apoteker dalam melaksanakan praktik kefarmasian adalah pelayanan kesehatan yang terkait dengan sediaan farmasi yang terdiri dari obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika.
Dari definisi diatas, maka sesunggunhnya kewenangan apoteker dalam menjalankan praktek profesinya sangat luas, yang terdiri atas:
- Pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi
- Pengamanan sediaan farmasi,
- Pengadaan sediaan farmasi,
- Penyimpanan dan pendistribusian obat,
- Pelayanan obat atas resep dokter,
- Pelayanan informasi obat
- Pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.
Tenaga medis dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, Praktik kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan dan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan, dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis dikelompokkan dalam Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga medis.
Kewenangan dari seorang tenaga medis tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran pasal 35 dan penjelasannya, yang terdiri atas:
- Mewawancarai pasien;
- Memeriksa fisik dan mental pasien;
- Menentukan pemeriksaan penunjang;
- Menegakkan diagnosis;
- Menentukan penatalaksanaan dan pengobatan pasien;
- Melakukan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi;
- Menulis resep obat dan alat kesehatan;
- Menerbitkan surat keterangan dokter atau dokter gigi;
- Menyimpan obat dalam jumlah dan jenis yang diizinkan; Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kewenangan bagi dokter dan dokter gigi untuk menyimpan obat selain obat suntik sebagai upaya untuk menyelamatkan pasien. Obat tersebut diperoleh dokter atau dokter gigi dari apoteker yang memiliki izin untuk mengelola apotek. Jumlah obat yang disediakan terbatas pada kebutuhan pelayanan.
- Meracik dan menyerahkan obat kepada pasien, bagi yang praktik di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
Berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia paling tidak terdapat beberapa irisan kewenangan antara tenaga medis dan apoteker seperti tersirat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 12/PUU-VIII/2010 dalam kalimat “dalam hal tidak ada tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan tertentu dapat melakukan praktik kefarmasian SECARA TERBATAS, antara lain, dokter dan/atau dokter gigi, bidan, dan perawat yang melakukan tugasnya dalam keadaan darurat yang mengancam keselamatan jiwa dan diperlukan tindakan medis segera untuk menyelamatkan pasien”.
Kalimat “SECARA TERBATAS” dapat diartikan bahwa tidak seluruhnya atau hanya item/jenis pekerjaan farmasi tertentu saja yang dapat dilakukan oleh tenaga medis dalam hal tidak ada tenaga kefarmasian yang melakukan tugasnya dalam keadaan darurat yang mengancam keselamatan jiwa dan diperlukan tindakan medis segera untuk menyelamatkan pasien.
Praktik kefarmasian SECARA TERBATAS ternyata telah dijelaskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran terutama pada pasal 35 ayat 1 huruf i berikut penjelasannya dan huruf j, yaitu :
- Menyimpan obat dalam jumlah dan jenis yang diizinkan; Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kewenangan bagi dokter dan dokter gigi untuk menyimpan obat selain obat suntik sebagai upaya untuk menyelamatkan pasien. Obat tersebut diperoleh dokter atau dokter gigi dari apoteker yang memiliki izin untuk mengelola apotek. Jumlah obat yang disediakan terbatas pada kebutuhan pelayanan. (UU 29/2004 pasal 35 ayat 1 huruf i dan penjelasannya).
- Meracik dan menyerahkan obat kepada pasien, bagi yang praktik di daerah terpencil yang tidak ada apotek (UU 29/2004 pasal 35 ayat 1 huruf j ).
Adapun gambaran irisan kewenangan tenaga medis dan apoteker dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar.1 Irisan kewenangan antara tenaga medis dan apoteker
Pada dasarnya kegiatan menyimpan obat, meracik dan menyerahkan obat kepada pasien adalah kegitan yang juga dilakukan oleh tenaga medis. Namun, dalam peraturan-perundangan di Indonesia yang terkait dengan hal ini terutama Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan terutama pasal 108 yang diperkuat dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 12/PUU-VIII/2010, kegiatan menyimpan obat, meracik dan menyerahkan obat kepada pasien yang menjadi irisan kewenangan tenaga medis dan apoteker secara konstitusional menjadi kewenangan profesi dari seorang Apoteker.
Dalam hal tidak ada apoteker sebagai profesi tenaga kefarmasian ataupun tenaga teknis kefarmasian (TTK) sebagai tenaga vokasi dalam kelompok tenaga kefarmasian yang bertugas membantu apoteker dalam menjalankan praktik kefarmasian, maka tenaga medis dapat melakukan kegiatan menyimpan obat, meracik dan menyerahkan obat kepada pasien dengan persyaratan :
- Untuk kegiatan menyimpan obat dapat dilakukan dengan syarat:
- Jenis obat selain obat suntik yang diizinkan dalam rangka mendukung pelaksanaan tugasnya dalam keadaan darurat yang mengancam keselamatan jiwa dan diperlukan tindakan medis segera untuk menyelamatkan pasien.
- Obat tersebut diperoleh dokter atau dokter gigi dari apoteker yang memiliki izin untuk mengelola apotek
- Jumlah obat yang disediakan terbatas pada kebutuhan pelayanan.
- Untuk kegiatan meracik dan menyerahkan obat kepada pasien, dapat dilakukan oleh tenaga medis yang praktik di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
Pelaksanaan pekerjaan kefarmasian secara terbatas oleh tenaga medis ini dapat dilakukan dengan atau tanpa didahului proses pendelegasian selama memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh peraturan-perundangan yang berlaku.
Demikian sedikit uraian yang dapat saya sampaikan terkait irisan kewenangan profesi apoteker dan tenaga medis menurut peraturan-perundangan di Indonesia yang saya pahami, dengan harapan masing-masing profesi dapat mengenal dan mengetahui kewenangan profesinya masing-masing sehingga dapat secara maksimal mengeluarkan segenap kemampuan professional yang dimiliki untuk mencapai tujuan yang sama yaitu KESEMBUHAN DAN PENINGKATAN KUALITAS HIDUP PASIEN. Waulaahu’alam.
Daftar pustaka:
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan.
- Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 12/Puu-Viii/2010 dalam perkara permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian.
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Pekerjaan Kefarmasian.
- Peraturan Mentri Riset Dan Pendidikan Tinggi Nomor 63 Tahun 2016 Tentang Gelar Dan Tata Cara Penulisan Gelar Di Perguruan Tinggi.
- http://www.informasi-obat.com/sejarah-profesi-farmasi.html
- http://www.finansialku.com/apa-bedanya-pendidikan-akademik-profesi-dan-vokasi/
Penulis:
Sudarsono, Apt, MSc.
Apoteker Klinik di RSUD Depati Hamzah Kota Pangkalpinang
by
Kalau dibaca dengan saksama seolah-olah tenaga medis malah diberi keuntungan lebih karena dapat melakukan “sebagian” pekerjaan kefarmasian. Tapi bagaimana sebaliknya? Apakah tenaga kefarmasian juga diberi kewenangan lebih seperti tenaga medis dalam artian tenaga kefarmasian dapat melakukan “sebagian” dari pekerjaan medis? Apakah DOWA atau Swamedikasi termasuk hal seperti itu? Bagaimana dasar hukumnya? Apakah ada dasar hukum yang melandasi Tenaga Kefarmasian dapat melakukan “sebagian” pekerjaan tenaga medis? Kalau misalnya dalam situasi dan kondisi tertentu…
TS. Och..
Peraturan-perundangan di Indonesia berdasarkan UU No.12/2011 pasal 7 ayat (1) & (2) memiliki Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan , yang terdiri atas :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki seperti tertulis diatas. Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Selain yang tersebut diatas, dalam pasal 8 ayat (1) & (2) disebutkan juga ada jenis peraturanperundangan lainnya yang diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan, termasuk didalammnya adalah peraturan peraturan yang ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi, menteri & badan yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang. Peraturanperundangan ini pada umumnya bersifat menjelaskan secara teknis peraturan yang lebih tinggi.
Berdasarkan hal ini, mk saya coba melihat “Irisan Kewenagan Apoteker & Tenaga Medis” dengan membandingkan peraturanperundangan terkait dengan kewenagan profesional dua profesi tenaga kesehatan ini berdasarkan perundangangan yang memiliki tingkatan hirearki perundangan yang sama. “UU dengan UU” dan “Putusan MK dengan Putusan MK”, supaya lebih seimbang secara hukum.,,,,,
Saya berusaha untuk objektif menulis artikel ini. Hasilnya ya memang seperti yang anda baca di artikel saya diatas.
“Tenaga Kefarmasian memang tidak diberi kewenagan oleh peraturanperundangan untuk melakukan “sebagian” dari pekerjaan medis”
Terkait dengan “SWAMEDIKASI” dan “DOWA” yang dilakukan oleh Apoteker, menurut saya pribadi, “BUKANLAH “SEBAGIAN” DARI TINDAKAN MEDIS YANG DILAKUKAN OLEH APOTEKER”, karena “SWAMEDIKASI SEJATINYA ADALAH BAGIAN DARI PEKERJAAN KEFARMASIAN”. Lho kok bisa ,,,?????
Praktek SWAMEDIKASI menurut saya TIDAK BERARTI APOTEKER MELAKUKAN ANAMNESE, PENETAPAN DIAGNOSA & MENENTUKAN TERAPI, tetapi membantu pasien yang datang ke Apotek untuk mengeliminasi keluhannya terkait “penyakit” yang dirasakan menggangu kesehatan dan kenyamanannya, menggunakan obat-obat yang dapat diberikan kepada pasien tanpa harus dengan resep dokter (obat bebas, obat bebas terbatas, obat keras yang termasuk dalam DOWA, obat bahan alam) dengan cara MEMBERIKAN PELAYANAN INFORMASI OBAT sehingga pasien dapat menjatuhkan pilihan obat yang akan digunakan untuk mengatasi keluhannya. Secara sederhana “SWAMEDIKASI = PELAYANAN INFORMASI OBAT (obat bebas, obat bebas terbatas, obat keras yang termasuk dalam DOWA, obat bahan alam) oleh Apoteker di Apotek”.
Jadi dasar hukum dari SWAMEDIKASI menurut saya sangat jelas yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan terutama pasal 108 yang diperkuat dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 12/PUU-VIII/2010 dan peraturan turunannya terutama Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.
DOWA sendiri sebenarnya adalah merupakan tambahan list atau daftar obat selain obat bebas, obat bebas terbatas dan obat bahan alam yang dapat digunakan oleh seorang Apoteker dalam rangka membantu pasien untuk melakukan SWAMEDIKASI di APOTEK.
Demikian penjelasan dari saya, semoga bisa di mengerti ,,,,,,
Dilain waktu inshaAllah saya akan mencoba merekonstruksi konsep praktek SWAMEDIKASI berdasarkan peraturanperundangan di Indonesia.