Hubungan Profesional antara apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian dalam pelaksanaan praktek kefarmasian di sarana pelayanan kefarmasian
Ditulis oleh: apt.Sudarsono., M.Sc
apoteker Farmasi Klinis RSUD Depati Hamzah Kota Pangkalpinang, Ketua Pengurus Daerah HISFARSI Kepulauan Bangka Belitung
Definisi praktik kefarmasian pada awalnya tertuang dalam pasal 108 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, namun karena adanya gugatan ke Mahkamah Konstitusi untuk permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 36Tahun 2009 tentang Kesehatan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 12/PUU-VIII/2010, definisi Praktik kefarmasiaan meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kefarmasian dan dalam hal tidak ada tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan tertentu dapat melakukan praktik kefarmasian secara terbatas, antara lain, dokter dan/atau dokter gigi, bidan, dan perawat yang melakukan tugasnya dalam keadaan darurat yang mengancam keselamatan jiwa dan diperlukan tindakan medis segera untuk menyelamatkan pasien.
Berdasarkan pada UU 36/2014 tentang tenaga kesehatan pasal 11 ayat 6, Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga kefarmasian terdiri atas apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK).
Merujuk pada PP 51/2009 yg disesuaikan dg UU 36/2014 dan UU 12/2012 tentang pendidikan tinggi, maka apoteker dapat didefinisikan sebagai seseorang yang telah menyelesaikan pendidikan profesi apoteker, lulus Uji Kompetensi apoteker Indonesia (UKAI) dg memperoleh Sertifikat profesi yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi, telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker serta memiliki surat tanda registrasi apoteker (STRA) dengan kewenangan melaksanakan praktik kefarmasian pada fasilitas kefarmasian. Sedangkan TTK adalah tenaga kesehatan yg membantu apoteker dalam melaksanakan praktik kefarmasian dengan latarbelakang pendidikan vokasi ilmu kefarmasian minimal D3 yang lulus Uji Kompetensi dan memperoleh Sertifikat Kompetensi yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi serta memiliki surat tanda registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian (STRTTK).
Fasilitas Pelayanan Kefarmasian (FASYANFAR) adalah sarana yang digunakan untuk menyelenggarakan pelayanan kefarmasian, yaitu apotek, instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik, atau praktek bersama (PP 51/2009 yg disesuaikan dengan PP 47/2016).
Permenkes 26/2020 baru-baru ini menuai kontroversi terutama dikalangan apoteker sebagai pemilik kewenagan profesional melakukan praktik kefarmasian terutama di puskesmas sebagai salah satu FASYANFAR. Pasal 6 ayat 4 adalah salah satu yang dinilai sebagai pasal yang “bermasalah” . Pada pasal 6 ayat 4 pmk 26/2020 tersebut menyebutkan bahwa dalam hal Puskesmas belum memiliki Apoteker sebagai penanggung jawab, maka:
- Penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian di puskesmas tersebut dilakukan secara terbatas oleh TTK.
- Pelaksanaan pelayanan kefarmasian secara terbatas di puskesmas oleh TTK di bawah pembinaan dan pengawasan seorang apoteker.
- Apoteker yang melakukan pembinaan dan pengawasan kepadaTTK yang melaksanakan pelayanan kefarmasian secara terbatas di puskesmas ditunjuk oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Jika merujuk pada UU 36/2014 pasal 65 ayat 2 & 3; UU 36/2009 pasal 108 ayat 1 jo Kep MK No.12/PUU-VIII/2010 dan PP 51 pasal 1 ayat 6, dapat ditarik kesimpulan bahwa TTK pada prinsipnya TIDAK BERWENANG melakukan praktik kefarmasian sebelum mendapatkan limpahan kewenangan dari seorang apoteker. Sekilas, poin dalam kesimpulan ini memang dijadikan rujukan atau dasar penyusunan pasal 6 ayat 4 Permenkes 26/2020 diatas.
Pada point c) dalam Permenkes 26/2020 pasal 6 ayat 4 seperti diutarakan diatas, padapasal 6 ayat 4 Permenkes 26/2020 tersebut menyebutkan bahwa apoteker yang melakukan pembinaan dan pengawasan kepadaTTK yang melaksanakan pelayanan kefarmasian secara terbatas di puskesmas ditunjuk oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Apakah seperti ini sebenarnya regulasi mengatur pelimpahan kewenangan profesional seorang apoteker kepada TTK ??? Apakah semua apoteker dapat mendelegasikan kewenangan profesionalnya kepadaTTK ??atau apakah semua TTK dapat menerima limpahan kewenangan profesional dari seorang apoteker??
Jika merujuk perundangan yang berlaku saat ini tentu TIDAK semua apoteker dapat melimpahkan kewenangan profesionalnya kpd TTK, begitu pula sebaliknya. Berdasarkan UU 36/2014 pasal 46 & 86, Setiap Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik dibidang pelayanan kesehatan wajib memiliki izin dalam bentuk surat izin praktik (SIP), dan Setiap Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik tanpa memiliki izin akan dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Surat Izin Praktik (SIP) adalah bukti tertulis yang diberikan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota kepada Tenaga Kesehatan sebagai pemberian kewenangan untuk menjalankan praktik.u/ apoteker disebut dengan SIPA dan pada TTK disebut SIPTTK (UU 36/2014 psl 1 ayat 11 & PP 51/2009).Dalam SIPA atau SIPTTK tercantum beberapa informasi penting, diantaranya adalah nomor STRA/STRTTK dan nama/alamat FASYANFAR tempat tenaga kefarmasian tersebut berpraktek kefarmasian.Hal ini mengindikasikan bahwa apoteker & TTK,hanya diperkenankan melaksanakan praktek kefarmasian dalam lingkup FASYANFAR sebagaimana yang tertulis dalam SIPA/SIPTTK.
Merujuk dari beberapa peraturan perundangan yangg dikemukakan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa:
- Tenaga kefarmasian yang dapat melakukan pelimpahan/penerima kewenangan profesional hanya tenaga kefarmasian yang sudah mengantongi SIP baik SIPA atau SIPTTK.
- Proses pelimpahan kewenagan praktek kefarmasian dari apoteker ke TTK atau sebaliknya hanya dapat dilakukan jika kedua tenaga kefarmasian tersebut berpraktek di FASYANFAR yang sama dan dibuktikan dengan SIP.
Dari penelusuran regulasi yang saya ketahui, saya belum menemukan regulasi termasuk peraturan yang dikeluarkan oleh Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (PP IAI) yang mengatur secara teknis proses serah-terima pelimpahan kewenangan praktek kefarmasian dari apoteker ke TTK. Akantetapi, menurut saya pribadi proses adminitrasi serah-terima pelimpahan kewenagan dari apoteker ke TTK harus terdokumentasi dengan baik agar dapat dijadikan bukti hukum jikadikemudian terjadi hal-hal yang tidak diinginkan akibat dari serah-terima pelimpahan kewenangan ini.
Beberapa data penting yang harus tercantum dalam dokumen adminitrasi serah-terima pelimpahan kewenangan antara apoteker ke TTK ,yaitu:
- Identitas profesional tenaga kefarmasian yg melakukan serah-terima pelimpahan kewenangan, diantaranya minimal adalah Nama tenaga kefarmasian, profesi/pekerjaan, nomorSIPA/SIPTTK dan alamat FASYANFAR tempat praktek tenaga kefarmasian yang akan melakukan serah-terima pelimpahan kewenangan.
- Jenis kegiatan/pekerjaan yang merupakan bagian dari kewenagan professional seorang apoteker yang akan dilimpahkan ke TTK.
- Dapat ditambahkan batasan waktu pelimpahan kewenangan tsb.
- Tandatangan tenaga kefarmasian selaku pihak yang melimpahkan kewenangan (apoteker) dan tanda tangan TTK sebagai pihak yang menerima pelimpahan kewenangan dari apoteker.
Merujuk pada definisi praktek kefarmasian dalam UU 36/2009 pasal 108 ayat 1 jo Kep.MK No.12/PUU-VIII/2010, maka sesunggunhnya kewenangan apoteker dalam menjalankan praktek profesinya secara garisbesar, yang terdiri atas:
- Pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi
- Pengamanan sediaan farmasi,
- Pengadaan sediaan farmasi,
- Penyimpanan dan pendistribusian obat,
- Pelayanan obat atas resep dokter,
- Pelayanan informasi obat
- Pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.
Ketujuh butir kewenangan profesional apoteker ini harus dijabarkan lagi menjadikegiatan/pekerjaan dalam teknis pelaksanaanya oleh PP IAI (Ikatan Apoteker Indonesia) sebagai acuan utama bagi seluruh apoteker dlm menjalankan praktek profesinya. Berikut adalah contoh dari butir-butir kegiatan teknis pelaksanaan kewenangan praktek kefarmasian oleh apoteker di sarana kefarmasian :
KODE | KEWENANGAN PROFESI/KEGIATAN/PEKERJAAN | ||
1 | 2 | ||
1 | PEMBUATAN TERMASUK PENGENDALIAN MUTU SEDIAAN FARMASI | ||
1 | …. | Kegiatan terkait pembuatan sediaan farmasi | |
1 | …. | …. | Pekerjaan terkait kegiatan pembuatan sediaan farmasi |
1 | …. | Kegiatan terkait pengendalian mutu sediaan farmasi | |
1 | …. | …. | Pekerjaan terkait kegiatan pengendalian mutu sediaan farmasi |
2 | PENGAMANAN SEDIAAN FARMASI | ||
2 | …. | Kegiatan terkait pengamanan sediaan farmasi | |
2 | …. | …. | Pekerjaan terkait kegiatan pengamanan sediaan farmasi |
3 | PENGADAAN SEDIAAN FARMASI | ||
3 | 1 | Seleksi sediaan farmasi | |
3 | 1 | 1 | Penyusunan Formularium obat |
3 | 1 | 2 | Penyusunan kompedium BAMHP |
3 | 1 | 3 | Penyusunan katalog sediaan farmasi (obat & BAMHP) |
3 | 1 | …. | Pekerjaan lainnya terkait kegiatan seleksi sediaan farmasi |
3 | 2 | Perencanaan Sediaan Farmasi | |
3 | 2 | 1 | Perencanaan untuk penganggaran pengadaan sediaan farmasi |
3 | 2 | 2 | Perencanaan untuk pengadaan sediaan farmasi |
3 | 3 | Pengadaan sediaan farmasi | |
3 | 3 | 1 | Pembuatan surat pesanan tanpa persyaratan khusus |
3 | 3 | 2 | Pembuatan surat pesanan Narkotika |
3 | 3 | 3 | Pembuatan surat pesanan Psikotropika |
3 | 3 | 4 | Pembuatan surat pesanan prekursor |
3 | 4 | Penerimaan sediaan farmasi hasil pengadaan | |
3 | 4 | …. | Pekerjaan terkait kegiatan Penerimaan sediaan farmasi hasil pengadaan |
3 | 5 | Pelaksanaan adminitrasi lainnya terkait dg kegiatan pengadaan sediaan farmasi | |
3 | 5 | …. | Pekerjaan terkait kegiatan pelaksanaan adminitrasi lainnya terkait dg kegiatan pengadaan sediaan farmasi |
3 | 6 | Pelaporan kegiatan pengadaan sediaan farmasi | |
3 | 6 | …. | Pekerjaan terkait kegiatan Pelaporan kegiatan pengadaan sediaan farmasi |
4 | PENYIMPANAN DAN PENDISTRIBUSIAN OBAT | ||
4 | 1 | Penerimaan sediaan farmasi sebelum penyimpanan | |
4 | 1 | …. | Pekerjaan terkait kegiatan Penerimaan sediaan farmasi sebelum penyimpanan |
4 | 2 | Penyimpanan sediaan farmasi dlm tempat penyimpanan | |
4 | 2 | …. | Pekerjaan terkait kegiatan Penyimpanan sediaan farmasi dlm tempat penyimpanan |
4 | 3 | Pendistribusian sediaan farmasi | |
4 | 3 | …. | Pekerjaan terkait kegiatan Pendistribusian sediaan farmasi |
4 | 4 | Pelaporan kegiatan penerimaan dan pendistribusian sediaan farmasi | |
4 | 4 | …. | Pekerjaan terkait kegiatan Pelaporan kegiatan penerimaan dan pendistribusian sediaan farmasi |
5 | PELAYANAN OBAT ATAS RESEP DOKTER | ||
5 | 1 | Penerimaan & Pengkajian Resep | |
5 | 1 | 1 | Pengkajian resep terkait dengan kesesuaian persyaratan adminitrasi |
5 | 1 | 2 | Pengkajian resep terkait dengan kesesuaian persyaratan farmasetik |
5 | 1 | 3 | Pengkajian resep terkait dengan kesesuaian persyaratan klinis |
5 | 2 | Penyiapan obat, peracikan, packing& pembuatan etiket | |
5 | 2 | 1 | Penyiapan obat, peracikan, packing& pembuatan etiket obat non racikan |
5 | 2 | 2 | Penyiapan obat, peracikan, packing& pembuatan etiket obat racikan |
5 | 2 | 3 | Penyiapan obat, peracikan, packing& pembuatan etiket sitotoksik |
5 | 2 | 4 | Penyiapan obat, peracikan, packing& pembuatan etiket sediaan intra vena (IV admixture) |
5 | 2 | 5 | Penyiapan obat, peracikan, packing& pembuatan etiket sediaan nutrisi parenteral |
5 | 2 | …. | Pekerjaan terkait kegiatan Penyiapan obat, peracikan, packing& pembuatan etiket sediaan lainnya berdasarkan resep dokter |
5 | 3 | Pembuatan copy resep | |
5 | 4 | Penyerahan obat ke pasien, keluarga pasien atau tenaga kesehatan lainnya | |
5 | 4 | 1 | Penyerahan obat tanpa penjelasan khusus atau perlakuan khusus |
5 | 4 | 2 | Penyerahan obat dengan penjelasan khusus |
5 | 4 | 3 | Penyerahan obat dengan perlakuan khusus |
5 | 5 | Pelaporan adminitrasi pelayanan obat atas resep dokter | |
5 | 5 | 1 | Penyusunan laporan obat narkotik |
5 | 5 | 2 | Penyusunan laporan obat psikotropika |
5 | 5 | …. | Pekerjaan terkait kegiatan Penyusunan laporan-laporan lainnya |
6 | PELAYANAN INFORMASI OBAT | ||
6 | 1 | Pelayanan informasi produk obat | |
6 | 1 | 1 | Informasi ketersediaan obat |
6 | 1 | 2 | Informasi harga obat |
6 | 1 | …. | Pekerjaan terkait kegiatan pelayanan informasi lainnya terkait produk obat |
6 | 2 | Pelayanan farmasi klinik (Pelayanan informasi obat-obatan yang digunakan oleh pasien untuk manajemen terapi penyakitnya berbasis pada kondisi klinis pasien tersebut ) | |
6 | 2 | 1 | Visite dan Pemantauan terapi obat di ruangan perawatan |
6 | 2 | 2 | Monitoring Efek Samping Obat (MESO) |
6 | 2 | 3 | Konseling penggunaan obat kepada pasien atau keluarga pasien |
6 | 2 | 4 | Pelayanan Swamedikasi |
6 | 2 | …. | Pekerjaan terkait kegiatan Pelayanan farmasi klinik lainnya |
7 | PENGEMBANGAN OBAT, BAHAN OBAT DAN OBAT TRADISIONAL | ||
7 | …. | Kegiatan terkait Pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional | |
7 | …. | …. | Pekerjaan terkait kegiatan Pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional |
Melihat begitu beragamnya Jenis kegiatan/pekerjaan yang merupakan bagian dari kewenagan professional seorang apoteker dalam praktek kefarmasian, maka pada saat melimpahkan kewenangannya kepada TTK seharusnya item Jenis kegiatan/pekerjaan yang akan dilimpahkan kewenangannya diserahkan sepenuhnya kepada apoteker praktek yang akan melakukan serah-terima pelimpahan kewenangan karena merekalah yang sangat memahami kondisi pelaksanaan praktek kefarmasian diFASYANFAR tempat apoteker tersebut berpraktek.
Tidak elok jika untuk kegiatan yg akan dilimpahkan oleh seorang apoteker, justru di tetapkan oleh “orang lain” walau disamarkan dengan penerbitan sebuah regulasi, karena sebagai seorang profesional, seorang apoteker diberikan hak penuh dan berdaulat oleh negara untuk menjalankan kewenangan profesionalnya secara mandiri berdasarkan peraturanperundangan yang berlaku.
Sekian dulu pembahasan dari saya tentang bagaimana hubungan profesional antara seorang apoteker & TTK, serta kaitannya dengan serah-terima pelimpahan kewenangan.Mohon maaf jika dlm tulisan ini ada kata-kata yang kurang berkenan. Saya adalah manusia biasa penuh dengan keterbatasan yang tidak lepas dari kesalahan.
Daftar Pustaka
- Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009, tentang Kesehatan.
- Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 12/PUU-VIII/2010 dalam perkara permohonan Pengujian Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009, tentang Kesehatan terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Undang-Undang RI nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
- Undang-Undang RI Nomor 36 tahun 2014, tentang Tenaga Kesehatan.
- Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian
- Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2016 tentang Fasilitas Pelayanan Kesehatan
- Peraturan Menteri Kesehatan No. 72 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefamasian di Apotek
- Peraturan Menteri Kesehatan No. 73 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefamasian di Rumah Sakit
- Peraturan Menteri Kesehatan No. 74 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefamasian di Puskesmas
- Peraturan Menteri Kesehatan No. 26 tahun 2020 tentang perubahan Peraturan Menteri Kesehatan No. 74 tahun 2016 tentangStandar Pelayanan Kefamasian di Puskesmas