Evidence Based Medicine

Tata Laksana Coronavirus Disease 2019 (COVID-19)

Coronavirus baru, yang dikenal sebagai Coronavirus Disease 2019 (COVID-19), pertamakali diidentifikasi di Wuhan, RRC, pada Desember 2019. Saat ini COVID-19 telah mempengaruhi lebih dari 80.000 orang di seluruh dunia, menyebabkan lebih dari 2.700 kematian. Virus ini berbahaya karena dapat menyebabkan pneumonia. Keluhan yang dialami penderita antara lain batuk, demam, dan kesulitan bernafas, bahkan bila kasusnya parah dapat terjadi kegagalan organ. Oleh karena COVID-19 adalah virus, maka antibiotik tidak dapat digunakan pada kasus ini, sedangkan obat antivirus yang tersedia saat ini belum dapat dipastikan efektivitasnya untuk COVID-19. Pasien yang dirawat di rumah sakit akan memerlukan terapi suportif. Pemulihan tergantung pada kekuatan sistem kekebalan tubuh pasien itu sendiri. Pasien yang meninggal umumnya sudah dalam kondisi kesehatan yang buruk.

Masa Inkubasi

Masa inkubasi diperkirakan 5 hari. Beberapa penelitian memperkirakan kisaran yang lebih luas untuk periode inkubasi; data untuk infeksi manusia dengan virus korona lain (mis. MERS-CoV, SARS-CoV) menunjukkan bahwa periode inkubasi dapat berkisar 2-14 hari.

Faktor Risiko

Faktor risiko belum terlalu jelas, meskipun demikian pasien yang lebih tua dan pasien yang memiliki kondisi medis kronis mungkin berisiko lebih tinggi untuk penyakit parah. Sebagian besar kasus yang dilaporkan terjadi pada orang dewasa (usia rata-rata 59 tahun). Terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa dari 425 pasien dengan pneumonia dan dikonfirmasi COVID-19, 57% adalah laki-laki.

Gejala dan Tanda

Pasien yang terkena COVID-19 menunjukkan gejala berupa demam (83-98%), batuk (46% -82%), mialgia atau kelelahan (11-44%), dan sesak napas (31%) saat onset penyakit. Radang tenggorokan juga telah dilaporkan pada beberapa pasien di awal perjalanan klinis. Gejala yang jarang dilaporkan termasuk produksi dahak, sakit kepala, hemoptisis, dan diare. Beberapa pasien juga mengalami gejala gastrointestinal seperti diare dan mual sebelum mengalami demam.

Sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS) terjadi pada 17-29% pasien rawat inap, dan infeksi sekunder berkembang pada 10% pasien. Terdapat penelitian yang menunjukkan waktu rata-rata dari onset gejala menjadi ARDS adalah 8 hari. Sebanyak 23-32% pasien rawat inap dengan COVID-19 dan pneumonia memerlukan perawatan intensif untuk dukungan pernapasan. Komplikasi lain yang dilaporkan termasuk cedera jantung akut, aritmia, syok, dan cedera ginjal akut. Di antara pasien rawat inap dengan pneumonia, kasus kematian dilaporkan sebanyak 4-15%. Penularan nosokomial di antara petugas kesehatan dan pasien telah dilaporkan.

Pemeriksaan Laboratorium dan Radiografi

Kelainan laboratorium yang paling umum dilaporkan di antara pasien rawat inap yang dirawat di rumah sakit antara lain leukopenia (9-25%), leukositosis (24-30%), limfopenia (63%), dan peningkatan kadar alanine aminotransferase dan aspartate aminotransferase (37%). Sebagian besar pasien memiliki kadar prokalsitonin serum normal saat masuk. Gambar CT dada telah menunjukkan keterlibatan bilateral pada sebagian besar pasien. Berbagai bidang konsolidasi dan kekeruhan  adalah temuan khas yang dilaporkan sampai saat ini.

Terapi

Pasien dengan presentasi klinis ringan mungkin awalnya tidak memerlukan rawat inap. Namun, tanda-tanda dan gejala klinis dapat memburuk dengan berkembangnya penyakit saluran pernapasan pada minggu kedua penyakit; semua pasien harus dimonitor secara ketat. Faktor-faktor risiko yang mungkin untuk berkembang menjadi penyakit parah antara lain usia tua dan kondisi medis kronis yang mendasarinya seperti penyakit paru-paru, kanker, gagal jantung, penyakit serebrovaskular, penyakit ginjal, penyakit hati, diabetes, kondisi immunocompromising, dan kehamilan.

Saat ini tidak ada pengobatan khusus untuk COVID-19. Penatalaksanaan klinis meliputi tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi serta penatalaksanaan komplikasi termasuk dukungan organ lanjut jika diindikasikan. Kortikosteroid harus dihindari kecuali diindikasikan karena alasan lain (misalnya, eksaserbasi penyakit paru obstruktif kronik), karena potensi untuk memperpanjang replikasi virus seperti yang diamati pada pasien MERS-CoV.

Terapi yang Masih Diteliti

Saat ini belum ada obat antivirus yang disetujui oleh FDA untuk mengobati pasien dengan COVID-19. Remdesivir, obat antivirus yang sedang diselidiki, dilaporkan memiliki aktivitas in-vitro terhadap SARS-CoV-2. Sebuah uji klinis acak terkontrol plasebo dari remdesivir untuk pengobatan pasien rawat inap dengan pneumonia dan COVID-19 telah dilaksanakan di RRC. Percobaan dengan kombinasi lopinavir-ritonavir juga telah dilakukan pada pasien rawat inap dengan pneumonia dan COVID-19 di Cina, tetapi tidak ada hasil yang tersedia hingga saat ini.

Referensi:

CDC: Interim Clinical Guidance for Management of Patients with Confirmed Coronavirus Disease 2019 (COVID-19)

Facebooktwitterredditpinterestlinkedinmailby feather

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *