Physical Distancing dan Masker Menjadi Kunci Keberhasilan Melawan Covid-19 Sampai Ditemukannya Vaksin
Sebuah meta-analisis baru, yang berasal dari sejumlah besar penelitian tentang SARS-CoV-2, memberikan bukti terbaik yang tersedia untuk physical distancing, penggunaan masker, dan pelindung mata. Sampai uji coba terkontrol secara acak dilakukan dan dapat menawarkan tingkat kepastian yang lebih besar, penelitian ini, yang muncul di The Lancet, memberikan informasi sementara kepada dokter dan pembuat kebijakan yang menjadi dasar pengambilan keputusan kunci.
Kemunculan dan penyebaran SARS-CoV-2 yang tiba-tiba dan cepat telah membuat para peneliti mencari vaksin yang aman dan efektif untuk mengurangi penularannya. Namun, pengembangan vaksin mungkin memerlukan waktu yang lebih lama dari perkiraan semula. Dengan tidak adanya vaksin atau perawatan lain yang akan memperlambat penyebaran virus, pemerintah di beberapa negara telah merekomendasikan serangkaian perubahan sosial dan perilaku untuk mengurangi penularan.
Selain mencuci tangan yang lebih sering, pihak berwenang telah menekankan pentingnya menjaga jarak secara fisik sejauh mungkin dari orang lain setiap saat saat berada di luar. Pihak berwenang juga merekomendasikan penggunaan masker wajah dan pelindung mata, khususnya di antara petugas kesehatan dan orang yang bekerja di masyarakat, namun para ahli masih memperdebatkan kapan dan bagaimana kebijakan ini harus dilaksanakan – termasuk apa yang merupakan jarak minimum yang harus dijaga satu sama lain, kapan dan di mana harus memakai alat pelindung diri, dan seberapa efektif alat ini terhadap virus.
Untuk mengatasinya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menugaskan tim untuk membuat meta-analisis ini, yang dilakukan oleh tim peneliti internasional. Para penulis menyaring lebih dari 20.000 makalah penelitian untuk menemukan 44 studi perbandingan yang terkait dengan manfaat perlindungan jarak fisik, memakai masker wajah, dan memakai pelindung mata.
Studi yang disertakan membahas infeksi virus SARS-CoV-2, virus SARS, yang menyebabkan wabah pada awal 2000-an, atau virus MERS-CoV, yang menyebabkan wabah pada awal 2010-an. Karena SARS-CoV dan MERS-CoV mirip dengan SARS-CoV-2, penelitian tentang patogen ini dapat memberikan wawasan. Para penulis tidak menemukan perbedaan dalam efektivitas jarak, masker wajah, dan pelindung mata dalam menanggapi tiga coronavirus dan, oleh karena itu, merasa yakin dalam mengumpulkan temuan dari berbagai penelitian. Mereka menyimpulkan bahwa ada bukti yang baik bahwa mempertahankan jarak minimum 1 meter, atau sekitar 3,3 kaki, dari orang lain kemungkinan memiliki efek yang signifikan dalam mengurangi penyebaran virus.
Pada 38 studi mengenai informasi tentang jarak, tingkat infeksi secara keseluruhan berkurang menjadi 2,6% ketika mempertahankan jarak lebih dari 1 meter dari orang dengan infeksi. Sebagai perbandingan, di antara studi di mana jaraknya kurang dari 1 meter, tingkat infeksi adalah 12,8%. Selanjutnya, penulis menemukan bukti bahwa meningkatkan jarak hingga 2 meter kemungkinan akan memiliki efek yang lebih besar.
Para peneliti mencatat bahwa ada konsensus bahwa virus ditularkan melalui tetesan air yang dikeluarkan dari tenggorokan atau hidung seseorang ketika mereka batuk atau bersin. Tetesan ini tidak dapat bertahan di udara dalam waktu yang lama, yang mungkin menjelaskan mengapa jarak setidaknya 1 meter secara signifikan mengurangi transmisi.
Selain menjaga jarak minimum, masker wajah dan mata juga dirancang untuk menghentikan penyebaran virus, baik dengan mengurangi jumlah yang dikeluarkan seseorang atau mengurangi jumlah yang dapat masuk melalui mulut atau mata seseorang.
Referensi:
Chu, Derek K., Elie A. Akl, Stephanie Duda, Karla Solo, Sally Yaacoub, Holger J. Schünemann, Amena El-harakeh et al. “Physical distancing, face masks, and eye protection to prevent person-to-person transmission of SARS-CoV-2 and COVID-19: a systematic review and meta-analysis.” The Lancet (2020).
by
Untuk mengatasi penyebaran virus corona, yang sulit adalah menyadarkan orang tentang pentingnya memakai masker, jaga jarak dan membersihkan tangan dengan sabun.
Banyak orang malas pakai masker. Katanya repot, mengganggu, tak nyaman, dsb. Apakah mereka tidak takut dengan tertular covid-19? Banyak orang meninggal karena tertular covid. Ini seharusnya jadi alasan utama untuk memakai masker dan jaga jarak. Yakni, ingin terhindar dari kematian.
Jika toh tidak meninggal, orang kena covid juga tidak nyaman. Tetangga saya yang sering mbandel kalau disuruh pakai masker, akhirnya terkena juga. Masuk rumah sakit 14 untuk isolasi. Setelah keluar dari rumah sakit dan dinyatakan sehat, dia bercerita bahwa menjalani isolasi di rumah sakit sangat membosankan, tidak nyaman, dsb.
Kini, dia selalu memakai masker dan jaga jarak. Seolah dia menyatakan tidak ingin tertular covid-19 lagi. Jadi, alasan tidak nyaman saat pakai masker itu sesungguhnya tidak relevan. Lebih tidak nyaman lagi kalau tertular covid dan harus isolasi di rumah sakit 14 hari.
Yang lebh tidak nyaman lagi kalau sakit berat, berat dan berat sekali. Jika toh merasa tak nyaman saat pakai masker, itu hanya sementara. Jika sudah terbiasa pakai masker, Anda pasti akan merasa nyaman. Bahkan, kalau tidak pakai masker akan merasa tidak PD.