Evidence Based Medicine

Mirabegron, Obat untuk Mengatasi Overactive Bladder

Mirabegron, yang dipasarkan dengan merek Myrbetriq di Amerika Serikat dan Betmiga di negara-negara Eropa dan beberapa negara lainnya merupakan obat pilihan untuk digunakan pada kasus overactive bladder. Kondisi ini menyebabkan desakan mendadak untuk buang air kecil akibat dari kontraksi kandung kemih yang tidak normal. Orang yang menderita overactive bladder kadang mengalami ngompol, atau menetesnya kencing sebelum mencapai toilet. Biasanya para lanjut usia mengalami kondisi ini.

Mekanisme kerja mirabegron adalah dengan cara mengaktivasi reseptor adrenergik β3 pada otot detrusor kandung kemih, hal ini akan menyebabkan relaksasi otot dan peningkatan kapasitas kandung kemih. Secara medis, indikasi mirabegron adalah untuk menterapi inkontinensia urgensi, nokturia, dan serignya buang air kecil yang disebabkan oleh overactive bladder.

Mirabegron juga dapat mengaktifkan lemak coklat (brown fat) dan meningkatkan metabolisme. Sebuah penelitian kecil terhadap 15 orang pria menemukan bahwa mirabegron meningkatkan laju jantung basal, laju metabolisme, dan tekanan darah yang kesemuanya merupakan penanda stimulasi kardiovaskuler. Selain melalui reseptor adrenergik β3, mirabegron juga merelaksasi otot melalui blokade reseptor adrenergik α1.

Efek samping yang terjadi pada penggunaan mirabegron meliputi naiknya tekanan darah, mulut kering, sakit kepala, diare, denyut jantung meningkat, dan nyeri abdomen. Pernah dilaporkan adanya pasien yang mengalami peningkatan nilai fungsi hati (SGOT dan SGPT) ketika menggunakan obat ini. Mirabegron harus diberikan dengan sangat hati-hati pada pasien yang menderita hipertensi yang tidak terkendali, obstruksi kandung kemih, gangguan ginjal berat, gangguan hati berat, anak di bawah umur 18 tahun, serta wanita hamil dan menyusui.

Referensi

Sacco, E; Bientinesi, R; et al. (Apr 2014). “Discovery history and clinical development of mirabegron for the treatment of overactive bladder and urinary incontinence”. Expert Opin Drug Discov. 9 (4): 433–48.

Facebooktwitterredditpinterestlinkedinmailby feather

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *