Kurang Makan Produk Hewani? Waspadai Kelahiran Preterm
Sebuah penelitian mendalam terhadap 11.216 ibu hamil dari 11 negara menyimpulkan bahwa kekurangan asupan vitamin B12 menjadi penyebab meningkatnya risiko kelahiran preterm. Secara global, bobot bayi lahir rendah dan kelahiran preterm menyebabkan separuh angka kematian bayi dalam waktu 28 hari setelah dilahirkan. Pola makan ibu hamil menjadi faktor yang sangat penting bagi kesehatan janin dan ibunya.
Vitamin B12 merupakan vitamin penting yang hanya ditemukan di produk hewani, misalnya daging, susu, dan telur. Wanita hamil yang jarang mengkonsumsi produk hewani memiliki risiko kekurangan vitamin B12. Vitamin B12 penting perannya dalam fungsi tubuh, termasuk produksi sel darah merah dan metabolisme energi sel. Kekurangan vitamin B12 menyebabkan anemia dan kerusakan sistem saraf. Tubuh tidak mampu untuk memproduksi vitamin ini sendiri. Di negara yang masyarakatnya senang mengkonsumsi produk hewani, misalnya Norwegia dan negara-negara Barat lain, hanya sedikit kasus kekurangan vitamin B12 pada wanita hamil. Namun di negara-negara yang pola makannya cenderung vegetarian, misalnya India, persentase wanita hamil yang kekurangan vitamin B12 cukup tinggi.
Kekurangan vitamin B12 pada wanita hamil tidak mempengaruhi bobot bayi lahir, namun akan meningkatkan risiko kelahiran preterm sebesar 21%. Hasil penelitian ini diterbitkan di American Journal of Epidemiology. Para ilmuwan menduga, selain faktor kekurangan vitamin B12, ada faktor lain yang turut terlibat pada kelahiran preterm ini. Walaupun tim ilmuwan menyatakan bahwa hasil penelitian ini masih harus didukung oleh penelitian lainnya, namun mereka menyarankan agar para wanita hamil yang mengadopsi pola makan vegetarian agar mengkonsumsi suplemen vitamin B12 agar terhindar dari risiko kelahiran preterm.
Referensi:
Rogne, Tormod, dkk.. Associations of Maternal Vitamin B12 Concentration in Pregnancy With the Risks of Preterm Birth and Low Birth Weight: A Systematic Review and Meta-Analysis of Individual Participant Data. American Journal of Epidemiology, 2017; DOI: 10.1093/aje/kww212
by