Hari Kartini dan Tingginya Angka Kematian Ibu Melahirkan
Setiap tanggal 21 April bangsa Indonesia selalu memperingati hari lahir RA Kartini. Namun sudah tahukah kita bahwa pahlawan emansipasi wanita Indonesia ini meninggal akibat melahirkan anak pertamanya? RA Kartini meninggal pada tanggal 17 September 1904 setelah melahirkan anak pertamanya dari pernikahannya dengan Bupati Rembang pada masa itu, yaitu Raden Adipati Joyodiningrat. Oleh karena itu setiap memperingati hari Kartini, selain mengenang jasa beliau dalam memperjuangkan emansipasi wanita, sangat relevan pula bila momen ini dijadikan pengingat akan masih tingginya angka kematian ibu melahirkan di Indonesia.
Angka kematian ibu melahirkan yang diperoleh dari data Survey Demografi Kesehatan Indonesia pada tahun 2007 adalah sebesar 228 kematian setiap 100 ribu kelahiran hidup. Pada tahun 2012 ternyata angka kematian ibu melahirkan malah meningkat menjadi 359 kematian setiap 100 ribu kelahiran hidup. Angka ini seharusnya diturunkan menjadi 102 kematian setiap 100 ribu kelahiran hidup sesuai target MDGs (Millenium Development Goal).
Penyebab tingginya angka kematian ibu melahirkan menurut Kementerian Kesehatan adalah hipertensi dalam kehamilan (32,4%) dan pendarahan post partum 20,3%. Eklamsia merupakan komplikasi dari preeklamsia. Preeklamsia ditandai dengan terjadinya hipertensi, udem atau pembengkakan tubuh, terdapatnya protein di urin, dan penambahan berat badan yang terjadi secara tiba-tiba. Preeklamsia dapat dicegah dengan cara monitoring tekanan darah dan uji kadar protein urin selama masa kehamilan. Bila tidak dimonitor, maka preeklamsia akan menjadi eklamsia yang ditandai dengan koma, kejang, dan gagal ginjal pada kehamilan atau saat melahirkan. Eklamsia dapat menyebabkan kematian ibu melahirkan.
Pendarahan post partum juga mengancam keselamatan ibu melahirkan. Pendarahan yang menyebabkan kematian ibu melahirkan adalah pendarahan lebih dari 1000 mL. Penyebab pendarahan post partum antara lain adalah atonia uterus. Atonia uterus terjadi apabila uterus/rahim tidak mampu berkontraksi setelah melahirkan. Penyebab pendarahan pada ibu melahirkan lainnya adalah tertinggalnya jaringan plasenta di rahim, hal ini dinamakan retensi plasenta.
Infeksi yang berujung kepada sepsis juga merupakan penyebab kematian ibu melahirkan. Sespis merupakan infeksi bakterial yang parah, awalnya terjadi di rahim yang kemudian menyebar ke ovarium dan akhirnya menuju aliran darah. Infeksi umumnya terjadi akibat bakteri Streptococcus yang masuk ke tubuh melalui kulit atau pada saat ada jaringan rusak saat melahirkan. Selain itu, infeksi menular seksual yang tidak diobati juga merupakan penyebab sepsis. Untuk mencegah infeksi saat melahirkan, maka diharuskan adanya sanitasi yang baik saat proses persalinan dan terapi menggunakan antibiotika.
Penyebab lain yang turut menyumbang tingginya angka kematian ibu melahirkan adalah gagal paru. Gagal paru disebabkan karena emboli paru, yaitu terbentuknya bekuan darah yang dapat menyumbat paru-paru. Hal ini terjadi karena pada masa kehamilan terjadi peningkatan kemampuan membekukan darah, hal ini bermanfaat untuk menghentikan pendarahan saat melahirkan. Namun hal ini meningkatkan risiko terbentuknya bekuan darah yang dapat menyumbat paru-paru, yang dicikan dengan sesak nafas tiba-tiba, batuk berdarah, dan kadang kala disertai nyeri dada. Emboli paru dapat dikelola dengan obat anti pembekuan darah.
Strategi yang telah dilakukan Kementerian Kesehatan untuk menurunkan angka kematian ibu melahirkan adalah dengan program percepatan penurunan angka kematian ibu melahirkan, yakni melalui peningkatan keterlibatan tenaga kesehatan dalam persalinan secara nasional. Namun yang lebih penting lagi adalah peran kita semua sebagai masyarakat untuk turut serta menekan angka kematian ini dengan cara memeriksakan kondisi kehamilan secara rutin kepada dokter atau bidan, patuh menggunakan obat sesuai arahan dokter dan apoteker, serta makan makanan yang bergizi tinggi selama proses kehamilan.
by